Assalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.
Pembaca yang budiman, gagasan ‘Islam Nusantara’ yang akhir-akhir ini digaungkan oleh sebagian tokoh dan pejabat di negeri ini sejatinya bukanlah hal baru. ‘Islam Nusantara’ hanyalah ‘bungkus baru’ menggantikan bungkus lama yang telah lama dipropagagandakan. Sebutlah istilah ‘Islam, Keindonesiaan dan Kemodernan’ yang pernah dipopulerkan oleh Cak Nur. Istilah itu merujuk pada judul buku Cak Nur yang cukup terkenal dan dijadikan rujukan oleh kaum liberal. Istilah lain adalah ‘pribumisasi Islam’ yang pernah dipopulerkan oleh Gus Dur. Berturut-turut kemudian muncul istilah ‘Islam inklusif’, ‘Islam moderat’, ‘Islam substantif’, dsb. Ragam istilah tersebut, sekali lagi, hanyalah ‘bungkus’, sementara isinya sama, yakni: sekularisme atau sekularisasi Islam.
Gagasan ‘Islam Nusantara’ jelas secara sengaja menafikan faktor ‘Arab’ yang sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari Islam. Pasalnya, meski Islam tidak identik dengan Arab, al-Quran sebagai sumber utama syariah Islam adalah berbahasa Arab. Bahasa Arab adalah bahasa al-Quran. Al-Quran mustahil bisa dipahami kecuali dengan bahasa Arab. Bahkan hukum-hukum al-Quran tak mungkin bisa digali oleh para mujtahid kecuali melalui—salah satunya yang utama—penggalian terhadap aspek kebahasaaraban al-Quran. Karena itu gagasan ‘Islam Nusantara’ yang sengaja menafikan faktor ‘Arab’—dengan dalih apapun—tentu berbahaya karena dapat mereduksi Islam itu sendiri. Contoh kecil, sudah lama ada orang berpendapat bahwa jilbab adalah budaya Arab sehingga wanita Muslimah Indonesia tak harus berjilbab. Padahal jilbab adalah perintah langsung dari Allah SWT kepada kaum Muslimah, baik Arab maupun non-Arab.
Gagasan ‘Islam Nusantara’ yang sejatinya adalah sekularisasi Islam tentu berimplikasi besar bagi Islam itu sendiri. Gagasan ini juga berpotensi memecah-belah Dunia Islam. Karena itu gagasan ini wajib dikritisi dan dicurigai sebagai upaya untuk melemahkan Islam dan kaum Muslim.
Itulah tema besar yang dalam al-wa’ie edisi kali ini. Tema-tema lain yang pastinya penting tentu juga layak untuk dikaji. Selamat membaca!
Wassalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.
Label: hizbut tahrir, hizbut tahrir indonesia, HTI, politik