Shaum (puasa) secara bahasa bermakna imsak (menahan diri). Dikatakan, misalnya, “Ash-Shamtu shaum[un] (Diam adalah puasa).” Ini karena diam itu bermakna menahan diri dari berbicara (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, I/121).
Adapun secara syar’i, menurut Ali ash-Shabuni dalam Shafwah at-Tafasir, shaum adalah menahan diri dari makan, minum dan berjimak (sejak terbit fajar hingga terbenam matahari) disertai dengan niat (Lihat juga: Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir, I/172).
Meski demikian, dalam pandangan Imam al-Ghazali, shaum memiliki beberapa tingkatan: (1) shaum umum; (2) shaum khusus; (3) shaum istimewa.
Shaum umum—yakni shaum orang awam atau orang kebanyakan—adalah shaum dengan sekadar memelihara perut dan kemaluan dari syahwat.
Shaum khusus adalah shaum dengan memelihara telinga, mata, lisan, tangan kaki dan seluruh anggota badan dari dosa. Shaum khusus adalah shaumnya orang-orang shalih. Memelihara diri dari dosa akan sempurna dengan cara: Pertama : memelihara mata, yakni menjaga pandangan dari semua yang haram maupun makruh; juga dari semua yang bisa menyibukkan dan melalaikan kalbu dari zikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Rasul saw. bersabda, “Pandangan (haram) adalah panah beracun di antara panah-panah iblis yang dilaknat Allah. Siapa saja yang meninggalkan pandangan (haram) ini karena takut kepada Allah, Dia pasti akan menanamkan keimanan yang mendatangkan kelezatan di dalam kalbunya.” (Musnad Asy-Syihab al-Qadha’i, I/485).
Kedua : Menjaga lisan dari dusta, ghibah, namimah (adu-domba), ucapan jorok (mesum), ucapan sia-sia, ucapan pemusuhan, ucapan riya, dsb. Sebaliknya, lisannya sibuk berzikir kepada Allah dan membaca al-Quran. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya shaum itu perisai. Jika salah salah seorang di antara kalian sedang shaum maka janganlah kalian berkata-kata jorok, jangan bertindak bodoh. Jika seseorang mengajak berkelahi atau mencela dirinya maka katakanlah, ‘Aku sedang berpuasa.’” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ketiga : Memelihara telinga dari menguping hal-hal yang haram. Sesungguhnya apa yang haram untuk diucapkan, haram pula untuk didengarkan. Karena itu Allah SWT manyamakan orang yang menguping perkara haram dengan pemakan harta haram. Allah SWT berfirman: Mereka itu adalah orang-orang yang suka menguping kabar dusta dan memakan harta haram (TQS al-Maidah [5]: 42).
Karena itu pula, membiarkan ghibah adalah haram. Rasulullah saw. bersabda, “Pelaku ghibah dan pendengarnya adalah sekutu dalam perbuatan dosa.”
Keempat : Memelihara tangan dan kaki dari yang haram; menjaga perut dari makanan/minuman syubhat saat berbuka. Tak ada artinya shaum dengan menahan diri dari yang halal, kemudian berbuka dengan yang syubhat apalagi haram. Orang yang shaum seperti ini ibarat orang yang membangun istana tetapi menghancurkan kotanya. Rasulullah saw. bersabda, “Betapa banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR Ahmad).
Terkait hadis ini dinyatakan bahwa maksudnya adalah: orang berpuasa, lalu berbuka dengan yang haram; dikatakan pula, dia menahan diri dari memakan yang halal, tetapi berbuka dengan ‘memakan daging manusia’ melalui ghibah; dikatakan pula, dia berpusa tetapi tidak memelihara anggota tubuhnya dari dosa.
Kelima : Tidak memperbanyak makan saat berbuka hingga memenuhi semua rongga perutnya. Bagaimana bisa mengambil manfaat shaum—yakni mengunci setan dan menelikung syahwat—jika orang yang berpuasa, saat berbuka, malah memakan lebih banyak makanan daripada hari-hari biasanya, bahkan kadang-kadang dengan aneka jenis makanan? Anehnya, banyak orang ‘menimbun’ aneka jenis makanan justru pada bulan puasa.
Keenam : Setelah berbuka, kalbunya senantiasa ‘bimbang dan khawatir’ antara harap dan cemas karena dia tidak tahu apakah shaumnya Allah terima sehingga ia termasuk muqarrabin (yang dekat dengan Allah SWT) ataukah ditolak seingga ia termasuk mamqutin (yang dibenci Allah SWT). Demikian pula seharusnya sikap kita setiap kali menyelesaikan ibadah. Diriwayatkan bahwa Hasan bin Abu al-Hasan al-Bashri pernah melewati suatu kaum yang sedang tertawa-tawa. Ia lalu berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan yang penuh kerahasiaan bagi makhluk-Nya agar mereka saling berlomba di dalam ketaatan kepada-Nya. Suatu kaum sukses berada di depan, sementara banyak kaum lainnya tertinggal di belakang (gagal). Tentu sangat aneh jika orang tertawa-tawa pada hari yang di dalamnya mungkin mereka berhasil tetapi mungkin pula gagal.”
Kepada Ahnaf bin al-Qays pernah dikatakan, “Anda ini sudah terlalu tua. Jika puasa, itu bakal sangat merepotkan Anda.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku sudah mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan sangat panjang. Sesungguhnya kesabaran dalam ketaatan kepada Allah SWT jauh lebih ringan bagi diriku daripada sabar dalam menanggung azab-Nya.” (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, I/245-246).
Adapun shaum istimewa adalah shaum memelihara kalbu dari pemikiran duniawi serta dari segala sesuatu selain Allah ‘Azza wa Jalla. Dalam shaum istimewa, shaum dianggap ‘batal’ saat berpikir tentang selain Allah ‘Azza wa Jalla dan Hari Akhir, juga saat berpikir tentang dunia, kecuali jika semata-mata ditujukan untuk kepentingan agama karena dunia merupakan bekal untuk akhirat. Shaum istimewa adalah shaum para nabi, shiddiqin dan muqarrabin (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, I/245-246. Lihat pula: Al-Qusairiyah, Ar-Risalah al-Qusayriyah, I/26).
Seorang hamba yang senantiasa menjaga hukum-hukum Allah, jika dia berbuka puasa dengan makan dan berjimak, ia tetap dipandang berpuasa di sisi Allah. Siapa saja yang berpuasa dari makan dan berjimak, tetapi dia banyak melanggar hukum-hukum Allah, maka ia di mata Allah tidaklah berpuasa meskipun dirinya menganggap ia berpuasa. Dengan kata lain, hakikat shaum adalah menahan diri dari segala perbuatan dosa, bukan menahan lapar dan dahaga (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, I/103).
Jika itu hakikat puasa, selayaknya umat Islam “berpuasa” sepanjang masa. Sayang, hal itu mustahil terwujud saat kita masih hidup dalam kungkungan sekularisme, sebagaimana saat ini. Pasalnya, sekularisme senantiasa memaksa orang untuk melakukan banyak dosa. Hanya dalam naungan syariah di bawah institusi Khilafah kita bisa benar-benar melakukan shaum yang sesungguhnya.
Wa ma tawfiqi illa bilLah.[Arief B. Iskandar]