Menjelang dan selama Ramadhan, kita biasanya diingatkan dengan ayat tentang shaum, yakni: Yâ ayyuhalladzina âmanû kutiba ‘alaykum ash-shiyâm (Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa…) (TQS al-Baqarah [2]: 183).
Ayat ini biasanya direspon oleh umat Islam dengan antusias. Shaum Ramadhan bukan saja dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kegembiraan. Bahkan kedatangan bulan Ramadhan jauh-jauh hari sudah amat dirindukan. Banyak di antara mereka yang kemudian berdoa, bahkan sejak bulan Rajab, “Allâhumma bâriklanâ fi Rajaba wa Sya’bân wa ballignâ Ramadhân (Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah [umur] kami hingga [masuk] ke bulan Ramadhan).”
Tentu menarik jika antusiasme umat Islam menyambut perintah shaum—sebagai bentuk pengamalan QS al-Baqarah ayat 183—dikaitkan dengan QS al-Baqarah ayat 178. Menarik karena QS al-Baqarah ayat 178 pun diawali dengan frasa “kutiba”. Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhalladzina âmanû kutiba ‘alaykum al-qishâsh fî al-qatlâ; al-hurru bil hurri wal ‘abdu bi al-abdi wal untsâ bi al-untsâ…(Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian menegakkan hukum qishash…) (QS al-Baqarah [2] 178).
Banyak mufassir menafsirkan frasa “kutiba” dalam kedua ayat yang berdekatan di atas dengan makna “furidha” (diwajibkan). Artinya, menurut ayat ini kaum Muslim wajib menegakkan hukum qishash sebagaimana mereka pun wajib menunaikan shaum Ramadhan. Bedanya, pelaksanaan hukum qishash tentu tidak dilakukan oleh orang-perorang sebagaimana pelaksanaan shaum Ramadhan. Sebagaimana sanksi ‘uqubat yang lain, pelaksana hukum qishash tidak lain adalah negara/penguasa (Khilafah/Khalifah). Hukum qishash adalah hukum balasan setimpal. Sesuai dengan makna zhahir ayat di atas: jika orang merdeka membunuh orang merdeka tanpa haq maka sang pembunuh wajib dibunuh lagi (dihukum mati). Demikian juga jika budak membunuh budak atau wanita membunuh wanita, maka sang pembunuh wajib dihukum mati.
Pertanyaannya: Mengapa para penguasa Muslim, khususnya di negeri ini, enggan melakukan hukum qishash sebagaimana mereka pun mengabaikan banyak hukum-hukum Islam yang lain? Mengapa pula umat Islam mendiamkan para penguasa tidak melaksanakan hukum qishash sebagaimana mereka pun membiarkan penguasa mengabaikan sebagian besar hukum-hukum Islam yang lain? Mengapa kebanyakan mereka tidak tergerak untuk berjuang menegakkan Khilafah dan mengangkat seorang khalifah yang merupakan satu-satunya pihak yang berwenang melaksanakan hukum qishash sebagaimana banyak hukum Islam yang lain?
Jika demikian kenyataannya, sungguh kita tidak adil dalam memperlakukan ayat-ayat Allah SWT. Kita hanya melaksanakan sebagian ayat dan seolah mengingkari sebagian ayat yang lain. Padahal tindakan demikian serupa dengan tindakan kaum Yahudi, yang jelas-jelas amat dicela oleh Allah SWT (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 285).
Alhasil, marilah bulan Ramadhan kali ini kita jadikan momentum untuk melakukan perubahan secara total demi terwujudnya ‘Islam kaffah’ sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT dalam al-Quran (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 208). Caranya adalah dengan berupaya sungguh-sungguh menegakkan institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah, agar semua hukum Islam benar-benar dapat diterapkan secara total sebagai wujud dari ketakwaan kita kepada Allah SWT. Bukankah takwa yang benar-benar ingin kita raih lewat ibadah shaum Ramadhan?!
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Agustini Diah P, S.Ikom, M.Pd.I.; Guru SMPIT Darul Muttaqien Parung Bogor]
Label: hizbut tahrir, hizbut tahrir indonesia, HTI, politik