Dalam diskusi terbatas tentang “Peran Ormas Islam Dalam Penguatan Wawasan Kebangsaan” yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Bidang Keagamaan (KKBK) Wantimpres di Kantor Wantimpres, Jakarta, beberapa waktu lalu, ada pertanyaan menggelitik dari anggota KKBK, “HTI mengusung ide Khilafah. Apakah Ustadz Ismail merasa ide itu sesuai dengan peraturan perundangan yang ada?”
Meski mungkin terasa mengejutkan, sesungguhnya pertanyaan seperti ini wajar belaka. Bagi sebagian orang, peraturan perundangan memang menjadi teraju baku yang seolah harus selalu dipakai untuk menimbang semua perkara, termasuk perkara agama (Islam), apakah itu bisa diterima atau tidak.
Itu pula yang dinyatakan oleh Wakil Presiden M. Jusuf Kalla saat memberikan sambutan pada acara pembukaan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia di Pesantren At-Tauhiddiyah, Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, awal Juni lalu. Dalam sambutannya, JK menyatakan orang yang mengkampanyekan khilafah berarti menafikan kebangsaan; orang yang ingin mengkampayekan khilafah berarti ia juga telah melanggar undang-undang.
++++
Dalam pengalaman puluhan tahun kehidupan bermasyarakat dan bernegara, khususnya pada masa Orde Baru, banyak sekali hal yang dulu dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Keinginan mendirikan partai baru, misalnya, ketika itu dilarang keras karena peraturan perundangan membolehkan hanya ada tiga partai, yakni Golkar, PDI dan PPP. Ide pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung pun ditolak mentah-mentah karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengharuskan presiden dipilih oleh MPR dan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Bukan hanya itu, kerudung di sekolah dan kampus, gagasan pendirian bank syariah, juga dilarang karena dianggap bertentangan dengan peraturan yang mewajibkan siswa berpakaian tanpa kerudung dan bank harus memungut bunga.
Namun, zaman berganti. Orde Baru tumbang. Orang kemudian berpikir lebih terbuka. Banyak ide baru dikaji tanpa dikungkung oleh jeratan peraturan perundangan semata. Lihatlah, apa yang kemudian terjadi? Karena gagasan partai politik lebih dari satu, juga pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung dipandang baik, maka aturan yang melarang itu semua kemudian diubah. Hasilnya, sekarang bisa berdiri banyak parpol dan berlangsunglah pemilihan presiden dan kepala daerah baik gubernur, walikota maupun bupati secara langsung. Gagasan bank syariah akhirnya juga bisa diterima. Bahkan sekarang sudah terbit peraturan perundangan khusus tentang bank syariah. Kerudung (orang menyebut jilbab) yang dulu dilarang, setelah 11 tahun diperjuangkan, sekarang bukan hanya boleh, bahkan sudah menjadi pakaian dinas resmi di berbagai instansi pemerintahan termasuk Polri.
Semua itu menunjukkan bahwa peraturan perundangan ternyata bukanlah alat satu-satunya yang bisa digunakan untuk menimbang apakah sebuah gagasan itu bagus atau tidak. Ide adalah ide. Dalam menanggapi sebuah ide, mestinya idenya itu sendirilah yang harus dikaji secara jernih, bagus atau tidak, menyelesaikan masalah atau tidak dan seterusnya; bukan sekadar dilihat sesuai dengan peraturan perundangan yang ada atau tidak. Kita pasti akan gagal memahami sebuah gagasan atau ide yang baru bila belum apa-apa sudah dihadang sekadar dengan argumen formal yudisial. Kita juga akan mengalami kerugian besar akibat menutup peluang untuk bisa menikmati kebaikan dari ide-ide yang baru itu. Coba bayangkan, apa jadinya seandainya larangan berjilbab, juga pendirian bank syariah, terus berlaku hingga sekarang?
Begitupun dengan ide syariah dan khilafah. Mestinya ide ini dikaji secara mendalam dengan hati dan pikiran yang lapang disertai dengan spirit tauhid seorang Muslim. Apalagi dalam kenyataannya, syariah dan khilafah bukanlah ide baru. Dia pernah ada dalam sejarah sehingga mempunyai basis historis dan empiris yang nyata, termasuk perannya dalam pengembangan Islam di wilayah Nusantara. Ide ini juga mempunyai basis teologis yang kokoh karena memiliki dasar secara normatif dalam al-Quran, as-Sunnah, Ijmak dan Qiyas.
Adapun mengenai keterkaitan ide syariah dan khilafah dengan nilai-nilai kebangsaan, bila nilai kebangsaan diartikan sebagai bentuk kepedulian dan pembelaan terhadap negeri ini, maka sejatinya ide khilafah—yang substansinya adalah ukhuwah, syariah dan dakwah—diperjuangkan tak lain untuk menjaga dan melindungi negara ini dari segala bentuk penjajahan. Apalagi penjajahan yang paling nyata, setelah penjajahan fisik (militer) berakhir, adalah melalui penerapan sistem sekular, utamanya di bidang ekonomi dengan kapitalisme dan neoliberalismenya, dan di bidang politik dengan penerapan demokrasi liberal yang terbukti telah menimbulkan berbagai bentuk kerusakan. Jadi, penegakan syariah dan khilafah sesungguhnya merupakan bentuk kepedulian dan kecintaan yang amat nyata terhadap keadaan negeri ini dan masa depannya.
Inilah paham kebangsaan yang benar, yakni semangat untuk membawa negeri ini pada penghambaan yang hakiki kepada Allah SWT, Zat Yang telah memberikan kemerdekaan dari penjajahan, melalui penerapan syariah dalam seluruh aspek kehidupan. Jadi, bagaimana bisa Khilafah disebut bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan? Ingatlah juga, Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, milik Allah, maka mestinya ditata dengan aturan Allah (syariah).
Menyatakan bahwa Khilafah bertentangan dengan nilai kebangsaan hanya akan menambah stigmatisasi negatif terhadap ajaran Islam yang selama ini sudah kerap terjadi. Aparat negara tak segan menyebut kelompok yang berjuang untuk tegaknya syariah dan Khilafah sebagai tidak memiliki wawasan kebangsaan, bahkan anti Pancasila. Semestinya tudingan itu diarahkan kepada mereka yang menolak syariah, yang mendukung sekularisme dan liberalisme, menjadi komprador negara Barat, korup serta gemar menjual aset negara kepada pihak asing, yang semua itu jelas-jelas telah menimbulkan kerugian besar bagai bangsa dan negara ini.
Akhirnya, kita harus mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang terus berproses, berkembang dan berubah. Belum final. Ini dibuktikan dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang terus terjadi. Bahkan UUD 45 telah mengalami 4 kali amandemen. Semua ini berimplikasi pada banyak sekali aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Persoalannya, kemana perubahan itu mesti dituju? Kampanye syariah dan Khilafah tak lain adalah ikhtiar untuk memberikan arah bagi perubahan ke arah yang baik, yaitu ke arah Islam; bukan ke arah sosialisme ataupun kapitalisme dan neoliberalisme yang diatasnamakan Pancasila. Hanya ke arah Islam sajalah—dengan menerapkan syariah sebagai ‘ilaju al-musykilati al-hayati al-insani (solusi persoalan hidup manusia)—kita bisa berharap terciptanya baldah thayyibah wa rabbun ghafur yang rahmatan lil alamin bagi Muslim maupun non-Muslim.
Alhasil, ide syariah dan khilafah mestinya harus didekati, bukan malah dijauhi. [HM Ismail Yusanto]
Label: hizbut tahrir, hizbut tahrir indonesia, HTI, politik